STRANGER
By. Nourma Pevensie
Kali
pertama aku melihatnya adalah saat aku sedang melakukan tugasku, bekerja demi
mencari sesuap nasi, mata kami bertemu dan dia menangis. Gadis yang penuh
dengan air mata itu terlihat sangat-sangat rapuh, sehingga jika aku bisa, aku
ingin sekali memeluknya. Namun tidak mungkin untuk memeluk orang yang tidak
dikenal dengan tiba-tiba. Suara yang dapat kubanggakan ini terus melantun
merdu, bersamaan dengan kerumunan orang-orang yang ikut menikmati petikan gitar
di jariku.
Saat lagu
selesai, angin malam berhembus lebih lebat dari biasanya. Berdasarkan
pengetahuanku yang sedikit minim ini, sepertinya hujan akan turun. Benar saja,
tiba-tiba rintikan gerimis mulai berjatuhan, membuat kerumunan yang tadinya
ramai itu mulai membubarkan diri. Tapi, “Heii.. Heii tunggu!” teriakan kecilku
tidak mungkin mereka dengarkan. Mereka meninggalkanku tanpa memberikanku upah
atas usaha yang telah kulakukan untuk menghibur malam mereka, yang benar saja!
Aku
mendengus keras, “HAAAAHHH” dan langit tak menunggu aku menyelesaikan amarahku
dengan langsung mengguyur jalanan dengan hujannya. Aku mengemas barang-barang
milikku yang tergeletak di jalan dan langsung mencari tempat perlindungan
sementara. Bajuku basah, peralatanku juga basah, tapi kepalaku terasa panas.
Dasar sialan mereka semua. Memangnya aku bisa makan apa malam ini?
Bersamaan
dengan derasnya hujan yang menhantam atap tempatku berteduh, suara perutku ikut
terdengar nyaring. Aku langsung menolehkan kepalaku dengan malu, memandang
minta maaf ke arah samping dimana seseorang sedari tadi berdiri. Ah, gadis itu.
Gadis yang menangis dan berhenti sejenak untuk menonton pertunjukkan kecilku.
“Hehehe
maaf kak, perut saya bunyi nya besar.” Tapi untuk apa juga aku menjelaskan
bunyi perutku yang besar? Dia juga pasti tahu kalau bunyi perutku besar. Dasar
bodoh.
Diluar
dugaanku, gadis cantik itu tersenyum, manis sekali. Aku terdiam memandang
wajahnya, sampai kusadari bahwa tatapanku membuatnya tidak nyaman. Seketika ia
menjauh satu langkah dariku, aku pun berinisiatif untuk melihat lurus kedepan
berusaha meluruskan kesalah pahaman yang terjadi.
Disaat
keheningan yang cukup singkat terjadi, perutku yang tidak bisa diajak kompromi
tiba-tiba mulai berulah. Kini aku memegangi perutku, setengah mencubit agar
rasa maluku bisa sedikit hilang. Gadis di sampingku mulai merogoh-rogoh isi
tasnya. Sekarang jika ia mengeluarkan stunt
gun atau semprotan merica, aku tak akan kaget. Gadis itu pasti tidak nyaman
berada di dekatku.
“Ini.” Ia
menyodoriku roti yang masih sedikit hangat dengan aroma kopi yang membuat
perutku kembali bersuara seolah berteriak, “Berikan padaku! Berikan padaku!
Berikan padaku!”
Aku
terdiam membeku beberapa saat sebelum menerima roti itu dengan tangan terbuka
dan menyantapnya, tepat pada saat itu juga, didepan gadis manis yang
memberikanku makan malam, seperti orang kerasukan. Ia terkekeh melihat cara
makanku yang tidak ada sopan santun sama sekali. Aku merasa berterima kasih
namun kita simpan saja nanti ucapan terima kasihnya, biarkan aku menghabiskan
roti yang nikmat ini terlebih dahulu.
Usai
menenangkan perutku, barulah aku bisa mengutarakan rasa terima kasih yang
mendalam kepada gadis itu, “Terima kasih banyak kak. Kakak sudah menyelamatkan
hidup saya. Kalau saya gak makan malam ini, mungkin saya sudah mati kelaparan
sekarang. Beneran, terima kasih banyak kak.”
Untuk
kesekian kalinya, gadis itu tersenyum. Sungguh, memangnya semua perempuan itu
senang memamerkan senyumannya ya? Jika iya, mengapa aku baru menyadarinya
melalui gadis ini? Senyumannya yang manis itu membuat seolah setiap perempuan
yang pernah kutemui sebelumnya tidak pernah tersenyum saat bicara denganku. Aku
sampai berpikir jangan-jangan ia memakai sejenis pelet. Aku langsung
menggelengkan kepalaku berusaha menghilangkan pikiran jelek tersebut dan
memandang lurus kedepan lagi agar ia tidak kembali salah paham terhadapku.
“Kamu..”
Aku menoleh saat merasa diriku terpanggil.
“.. suara
kamu bagus.”
Dan
astaga, lama-lama senyuman gadis itu bisa membuatku menggila! Tolong, jangan
seperti ini. Mendengar pujian secara langsung dari orang asing juga membuat
wajahku memerah. Rasanya kepalaku panas sekali sampai-sampai aku ingin
mengguyurnya ditengah hujan.
“Ma-makasih
kak.”
“Bisa
nyanyikan satu lagu untuk saya?” Aku terdiam sejenak. Perasaan bangga menjalari
dadaku. Ini artinya aku diakui kan? Iya kan? Kemudian aku mengangguk pertanda
setuju.
“Tolong nyanyikan
lagu tentang kekecewaan yang berat. Perasaan kecewa yang ingin di keluarkan
tapi tidak bisa.”
Aku mulai
mengatur gitarku dan memanaskan suaraku sebentar, lalu lagu Bunga Citra Lestari
muncul di kepalaku.
“...
Kuingin marah,
melampiaskan
Tapi ku hanyalah
sendiri disini
Ingin kutunjukkan
pada siapa saja yang ada
Bahwa hatiku
kecewa
...”
“Terima
kasih. Sekarang perasaan saya lebih baik.”
Aku menggangguk,
meletakkan gitarku, kemudian sebuah mobil mengampiri kami. Gadis itu
mengeluarkan selembar kertas berwarna merah dan memberikannya padaku. Ia
tersenyum, melambaikan tangannya, dan pergi masuk ke mobil itu. Aku masih
mematung memandang kepergian mobil hitam yang membawa gadis itu pergi.
Sebetulnya aku masih ingin bicara dengannya, aku masih ingin berbagi suara
kebanggaanku ini padanya, aku masih ingin mengenal lebih jauh dirinya, tapi
semua terjadi begitu saja. Aku menatap kertas yang ia berikan padaku. Setidaknya
aku tidak perlu memikirkan akan makan apa untuk beberapa hari kedepan.
Pertemuanku
dengan gadis itu berlangsung singkat. Aku tidak tahu namanya, aku tidak tahu
mengapa ia menangis, aku tidak tahu segala tentangnya. Malam itu, aku benar-benar
senang dengan keberadaannya. Apakah mungkin aku jatuh cinta pada pandangan yang
pertama? Atau jatuh cinta saat pemberian makanan yang pertama? Jatuh cinta saat
pujian pertama? Aku sungguh tidak tahu. Gadis itu membuat hantaman hujan deras
terasa menghangatkan. Gadis itu mengisi kekosongan di perutku. Gadis itu juga
memuji suara yang aku tahu dapat menjual ini. Aku ingin berterima kasih sekali
lagi, tapi setelah kejadian itu, aku tidak pernah bertemu dengannya, lagi.
Sampai
suatu hari aku menyadari kejanggalan dari tas gitar yang biasanya kugunakan
sebagai tempat apresiasi kerumunan yang mengelilinginku. Dari banyaknya uang
logam recehan dan kertas lusuh dua ribuan, setiap minggunya aku selalu melihat
terdapat uang kertas berwarna merah yang terselip disana. Pada awalnya kupikir
itu hanya orang biasa yang sedang berbaik hati padaku, tapi setelah delapan
minggu berturut-turut kejadian ini terus terjadi. Aku bersyukur memang, tapi
siapa orang berhati mulia yang berjasa atas kemewahan makanan ku setiap minggunya
ini? Jika dipikir-pikir, mungkin hanya ada satu orang yang akan melakukannya.
Menyadari
itu, aku bertekad dalam hati untuk fokus mencari gadis itu diantara kerumunan
yang kuciptakan. Mungkin suatu hari nanti kami bisa bertemu kembali. Aku dapat
berterima kasih, berteman dengannya, dan mengatakan bahwa aku ingin mengenalnya
lebih jauh. Mungkin.
Komentar
Posting Komentar