SEBATANG POHON KENANGAN

   Bel pertanda pulang sekolah berbunyi. Perasaan gembira mulai bergerilya di hati para murid. Memang itu adalah suatu adat yang sudah ada dari zaman dahulu, bahwa bel pulang sekolah adalah awal dari kebahagiaan. Itu sih menurutku. Tapi aku memang benar-benar merasakannya.
   Aku berjalan menuju parkiran dan mencari kendaraanku. Semester akhir di sekolah memang memberatkan. Setelah ini kami kelas 12 harus menjalani les yang sangat membosankan. Aku dengan cepat mengambil kendaraanku dan bergegas pulang. Namun di tengah jalan, aku memutuskan untuk mampir ke sekolah lama ku. SMP ku tepatnya. Akhirnya aku berputar balik dan melepas gas menuju ke sana.
   Sudah sepi rupanya. Hanya ada satpam baru yang tidak ku kenal, dan penjaga sekolah, juga beberapa murid yang menunggu jemputannya. Aku segera masuk ke area sekolah. Tujuan utamaku hanya mencari pohon. Ya, pohon yang berisi begitu banyak kenangan. Disanalah aku dan teman-teman menulis segala suka dan duka. Pelajaran yang membosankan, guru yang menyebalkan, senior yang galak, junior yang mengesalkan, guru favorit, kantin yang kurang fasilitas, makanan enak, sampai asmara pun tertulis disana.
   Pohon angkatan kami sudah besar. Sudah tumbuh dengan rindang. Berhiaskan corat-coret anak muda yang belum dewasa. Dan pada bagian bawah pohon, terdapat semua tanda tangan angkatan kami. Tapi menurutku yang lebih berharga adalah teman satu kelasku. Sebenarnya aku benci mengakuinya, tapi aku menyayangi mereka. Pohon itu ditaman saat kemi kelas 7 dulu. Dengan penuh riang memegang cangkul, pupuk, sekop, dan alat lainnya. Dengan penuh candaan tanpa beban.
   Aku membaca setiap tulisan yang tertera disana. Aku bahkan tak menyadari bahwa terdapat air yang membasahi pipi ku. Dan tiba-tiba pandangan ku tertuju pada sebuah tulisan yang mengganjal hati.
   “22 Januari 2015. Tragedi Kamis pagi. Roa.”
Tentu saja aku ingat. Bagaimana mungkin secepat itu aku melupakan Nanda. Nanda adalah sahabat ku. Kami bertemu dan dekat karena satu eskul. Namun kejadian Kamis itu, membuatku tak ingin mengungkitnya. Maksudku, itu hanya akan membuat siapapun sedih.
   Aku sungguh menyesal. Bahkan untuk terakhir kalinya, aku tidak berada di dekat Nanda. Aku kecewa. Pada diriku sendiri. Mengapa tidak kuhadiri acara perayaan terakhir nya? Mengapa aku tidak berpikir bahwa semuanya akan berakhir begitu cepat? Aku bahkan sempat menyalahkan takdir, lalu berkata Tuhan tidak adil. Namun, aku sadar. Tak ada gunanya menyalahkan siapa saja, karena kematian telah diatur oleh Tuhan.
   Lalu, nama seseorang yang menulis tragedi itu. Roa. Dia gadis yang sungguh luar biasa. Imannya kuat, pribadinya tangguh, persis mencerminkan gadis yang sholeha, walaupun belum terlalu mirip. Dia adalah sahabat ku yang paling kuat, yang paling lemah, yang paling pandai, yang paling idiot, yang paling cantik, yang paling jelek, dan yang paling lainnya. Ya, dia selalu mempunya kekurangan dan kelebihan. Dia lah yang berdiri paling depan ketika aku dalam keadaan terpuruk. Dia yang pantas dikatakan sahabat yang benar-benar sahabat dunia akhirat.
  Mereka, Nanda dan Roa. Orang spesial yang pernah kumiliki. Well, mungkin bukan hanya mereka, tetapi orang seperti mereka yang pergi minggalkanku. Nanda yang telah di surga dan Roa yang jauh menuntut ilmu.
   Narso, Wulan, Tama, Resa, Rahman, Hana, Nugrah, Sukma, Dewi, Kinan, Putri, Thania, Yani, Via, Putra, Haryani, Febri, Aulia, Diana, Novi, Madan, Prasetya, Elang, dan Mila. Mereka juga turut berjasa untuk menemani hari-hariku selama di SMP. Mereka benar-benar bisa membuatku nyaman bersekolah, selayaknya rumahku sendiri.
   Kembali kutatap tulisan lain. Pandanganku tertuju pada tanda tangan di bagian bawah pohon. Semuanya menggoreskan tanda tangannya. Terlebih Elang, dia yang membuat paling besar. Namun hanya satu orang yang belum menggoreskan tandanya. Nanda. Hanya tulisan tangan Narso yang menampilkan namanya.
   Tanpa sengaja jam ditanganku terlihat. Oh ya ampun pukul 3. Satu jam lagi les dimulai. Dasar ceroboh. Bagus, sekarang aku hanya akan mendapat ocehan dari orang tua jika pulang, dan akan terlambat jika kesekolah. Bagaimana ini?
Tiba-tiba seseorang menyapaku. “Kak-“
Aku menoleh dengan refleks. “Ya-?”
   “Apakah itu pohon angkatan kakak?”
Aku mengangguk mantap dan bangga.
   “Sudah besar ya. Rindang pula. Aku berharap pohon angkatanku akan sebesar dan rindang seperti angkatan kakak. Bahkan lebih” Ujarnya. Nada suara nya yang lugu sangat menggelikan. Namun aku bisa menghargai seseorang. Jika dilihat, kira-kira dia masih kelas 7.
   “Baiklah adik manis, aku barharap serupa. Semoga Tuhan mendengarkanmu. Sekarang pulanglah. Sudah sore dan-“ Aku menatap jam tanganku lagi.
   “Oh ya ampun. Aku harus pergi. Sampai jumpa.”
Aku segera bergegas.
   “ Tunggu kak, siapa namamu? Agar aku bisa mengingat nya ketika berjumpa”
   “Panggil saja Rahma” Mungkin suara ku terdengar samar karena aku sudah agak jauh.
   Oh, pukul 3 lewat 10. Bagaimana bisa waktu berjalan secepat itu. Ah, aku benar-benar terlambat. Dasar ceroboh!!!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Reply 1988 "Drama dengan Cerita Ringan"

IU, Mengingatkan tentang Ibu

We are the B