Cerpen Pengalaman : Suara Sang Imam
Hari Sabtu
kegiatan belajar mengajar diliburkan, semua itu dikarenakan kabut asap yang
kian tebal. Usai sholat Dzuhur, aku dikabarkan temanku bahwa latihan paskibra
ditambah menjadi tiga hari, yaitu Senin, Rabu, dan Sabtu. Aku terkejut, kupikir
jika sekolah libur maka kegiatan eskul akan diliburkan pula. Tapi sudahlah,
dari pada aku hanya makan saja dirumah, lebih baik aku latihan.
Pukul setengah
dua aku sudah disekolah. Hanya ada aku dan gadis yan tidak ku ketahui namanya. Aku
tersenyum memandangnya. Karena kulihat dia sedang menelepon, aku mgambil HP dan
memfoto pohon rindang di depanku, lalu menguploadnya. Lima menit lagi latihan
dimulai. Ah- malas sekali rasanya latihan. Aku sungguh mengantuk. Dan saat itu
kulihat senior berbaju merah turun ke lapangan.
Tidak! Ayolah, jangan sekarang!
“Paskibra SMA
Negeri enam Kota Jambi. Dalam hitunga kesepuluh sudah berada di depan saya.
Satu, dua, tiga-“
Tidak lagi! Akhirnya dengan sangat terpaksa, aku berlari
turun ke lapangan, diikuti teman lainnya. Saat sudah disiapkan, lagi-lagi
dengan terpaksa aku memasang wajah tersenyum. Padahal aku tidak biasa tersenyum.
Maksudku, jarang.
Setelah berdiri
ditengah teriknya matahari, kami terkena seri. Itu karena beberapa kesalahan
temanku, mungkin termasuk aku juga yang kurang fokus. Senior lain datang
menyusul. Bukannya tidak senang, aku hanya sedang malas. Entah berapa seri yang
sudah kami lakukan, mungkin aku sudah terbiasa sehingga tidak terlalu pegal. Aku
anggap itu sebagai latihan agar badan menjadi tegap. Tak masalah, aku bukanlah
orang lemah.
Alhamdulillah,
sudah pukul setengah empat sore yang mengharuskan kami berisirahat. Namun aku
bingung, mengapa adzan belum berkumandang? Padahal sudah waktunya Ashar. Ternyata,
ketika berjalan menuju masjid, dua senior berkata masjid ditutup. Ah- yang
benar saja!
“ Tenang, kita
sholat di ruang osis, ada sajadah kok”
Untunglah, kukira aku akan meninggalkan Ashar.
Tak kusangka,
minim sekali orang yang mau menjalankan kewajibannya. Padahal tadi banyak yang
hendak menuju masjid? Hanya empat orang. Astagfirullah. Aku hanya bisa menahan
kekecewaanku. Bagaimana mungkin?! Aku menarik napas dalam-dalam dan
menghembuskannya perlahan,demi menghilangkan sebuah perasaan yang mengganjal
hati
Iqamah mulai
terdengar.Aku segera memakai mukenah yang kubawa sendiri. Dan apa yang kudengar
dan tak kalian sangka? Ketika takbiratul ikhram, sang Imam mengeluarkan suara
yang sungguh indah.
“Allahu Akbar”
Tenang dan syahdu. Layaknya bunyi tetesan air pada jam tiga pagi. Aku terkejut.
Sangat terkejut. Karena kupikir Imam sekaligus seniorku itu hanya bersuara biasa
saja. Namun tidak untuk urusan dengan Pencipta. Apa jadinya jika aku
mendengarnya mengaji?
Usai sholat, pikiranku langsung fresh. Aku tidak tahu
mengapa. Yang pasti ketika latihan, kesalahan yang kubuat tidak banyak, bahkan
sangat sedikit. Kami di seri pun bukan lagi karena kesalahanku. Hingga latihan
berakhir , aku masih saja semangat. Mungkinkah aku terobsesi dengan suara sang
Imam?
Tidak. Lagi pula aku hanya menyukai suaranya. Hanya menyukai
suaranya. Ingat, suaranya!
Sesampainya di
rumah, aku masih mengingat suaranya yang indah. Seperti air yang menetes pada
pukul tiga pagi.
Bayangkan saja betapa tenangnya.
Komentar
Posting Komentar